Pada abad ke-17 orang dari berbagai bangsa di Nusantara bertemu di Jakarta. Adat kebiasaan masing-masing terpaksa ditinggalkan karena beraneka ragam. Karena itu, kampung-kampung di sekitar kota dan desa-desa pedalaman bersatu dalam hal agama, dan kemudian dalam hal bahasa Melayu Betawi.
Untuk menjajaki sejumlah masjid tua yang sampai kini masih berdiri, baiklah kita mendatangi Masjid Al-Alam di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Masjid ini dibangun oleh Fatahilah dan pasukannya untuk menyerang Portugis (1527). Ada keyakinan masyarakat di sini, bahwa Fatahillah membangun Masjid Al-Alam hanya dalam sehari.
Masjid Si Pitung Sekilas, bangunan masjid itu tak terkesan istimewa. Ukurannya terbilang kecil. Bangunan utama hanya berukuran 8 meter x 8 meter, dengan ruang dalam yang cuma bisa menampung sekitar 100 orang. Tempat berwudu yang awalnya terletak di dekat sumur, di halaman depan masjid, kini berada di bangunan baru di halaman samping agak ke belakang. Enam tahun lalu, halaman depan seluas sekitar 200 meter persegi dilapis keramik merah bata. Pada waktu itu pula, di sisi kiri masjid tua itu pun didirikan bangunan tambahan berupa pendopo berukuran 10 meter x 10 meter. Ke ruang-ruang terbuka inilah jemaah meluber setiap kali dilaksanakan shalat Jumat atau shalat Id.
Menurut catatan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Masjid Al-Alam dibangun pada sekitar abad ke-18 Masehi. Masjid itu awalnya bernama Al-Aulia dan diganti jadi Al-Alam, setelah dipugar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya pada tahun 1975. Arsitektur masjid merupakan paduan antara gaya Jawa, Arab, dan Eropa. Gaya Jawa jelas terlihat pada atapnya yang merupakan atap joglo bertingkat dua. Namun, bagian masjid yang paling unik adalah ruangan dalam.
Di tempat ini terdapat empat pilar batu berlapis semen penyangga atap. Tiang-tiang bulat berhias garis-garis cekungan vertikal itu berukuran pendek sehingga berbentuk seperti kaki bidak-bidak catur. Namun, menurut sejarawan Belanda, F de Haan, masjid di Marunda itu sudah ada sejak abad ke-16 Masehi. Pada waktu itu masjid di Marunda tersebut pernah menjadi basis perlawanan gerilyawan Islam dari Banten dan Jakarta. Masjid itu pun pernah menjadi markas pasukan Mataram saat mereka menyerbu Batavia pada abad ke-17, tepatnya pada 1628-1629. Sekitar seabad kemudian, tokoh pahlawan Betawi, Si Pitung, konon sering ikut shalat di masjid Al-Alam. Masjid itu terletak tidak jauh dari rumah di Marunda yang pernah ia tinggali. Rumah itu kini juga menjadi bangunan cagar budaya. Dibangun secara gaib.
Menurut H Atip Fauzi, penjaga Masjid Al-Alam, tak ada seorang pun warga Marunda yang tahu sejak kapan masjid itu berdiri. "Sejak dulu, orang hanya tau masjid itu sudah ada. Sebagian orang percaya masjid ada begitu saja secara alamiah sehingga diberi nama Masjid Al-Alam," kata pria 57 tahun itu. Namun, cerita rakyat lain yang beredar di antara orang Betawi Marunda menyatakan, masjid itu awalnya berada jauh dari laut, di tengah daratan yang dikitari hutan bakau. Masjid didirikan oleh Fatahillah, pendiri Kota Jakarta. Dengan kesaktiannya, Fatahillah konon membangun masjid itu secara gaib dalam waktu semalam.
Hingga kini masjid yang terletak di tepi pantai itu tidak pernah sepi. Selalu diziarai, lebih-lelbih pada malam Jumat kliwon. Seratus tahun kemudian (1628-1629), ketika ribuan prajurit Mataram pimpinan Bahurekso menyerang markas VOC (kini gedung museum sejarah Jakarta) para prajurit Islam ini lebih dulu singgah di Marunda guna mengatur siasat perjuangan. Bahkan, ada yang mengatakan masjid ini dibangun oleh prajurit Sultan Agung.
2. Masjid Jami An-Nawier (1700-an)Pekojan, Jakarta Utara
Pekojan, asal katanya dari kata Koja, adalah kain tenun yang dipakai untuk ikat kepala oleh orang-orang Banten atau Badui; atau juga berarti orang India (Khoja). Di daearah Jawa Tengah, di Semarang misalnya, ada sebuah kampung yang disebut dengan Kampung Pekojan.
Kampung ini katanya dominan dimukimi oleh orang-orang keturunan India. Tapi entah apakah itu punya arti sama dengan Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora di Jakarta Utara, yang tempo dulu disebut sebagai Kampung Pekojan juga.
Namun untuk memperkuat sebutan itu ada bukti yang dapat dijadikan cara untuk memperkuat dugaan itu. Salah satu masjid tua di daerah itu didirikan tahun tahun 1700-an, Masjid Jami An-Nawier namanya, menunjukkan gelagat ke sana. Hingga sekarang masjid yang didirikan oleh seorang ulama yang biasa dipanggil sebagai Komandan Dahlan, sering diziarahi oleh para ulama maupun masyarakat biasa dari daerah Banten.
Jika dikaitkan dengan ikat kepala, boleh jadi ada hubungannya pula. Mungkin saja, Komandan Dahlan atau pendiri lainnya adalah mantan prajurit Kesultanan Banten yang ikut membantu Fatahillah menyerang penjajah di Sunda Kelapa. Lalu setelah itu bermukim di sebuah wilayah di selatan Pelabuhan Sunda Kelapa, dan beranak-pinak di wilayah itu. Mungkin karena tradisi berpakaian orang Banten dahulu seperti orang-orang dari Badui sekarang gemar menutupi kepalanya dengan ikatan kain tenun, maka daerah itu disebut sebagai Pekojan. Sama halnya dengan daerah Matraman, tempat mukimnya orang-orang Mataram.
Makam Komandan Dahlan kini bisa dilihat di sebelah utara masjid yang dikelilingi batu pahatan besar buatan abad 18. Di sekitar masjid pun ada beberapa makam-makam tua para ulama besar Kampung Pekojan. Konon Masjid Jami Pekojan ini dahulunya menjadi induk dari masjid-masjid sekitar Batavia. Dahulu setiap hari Jum'at dihadiri lebih dari 2.000 jamaah. Peninggalan sejarah masjid ini tak hanya makam, mimbar berukir di mihrab masjid adalah pemberian dari salah seorang Sultan Pontianak pada awal berdirinya masjid di abad ke 18.
Sampai kini Masjid Jami An-Nawier telah mengalami beberapa kali pemugaran. Terutama pada bagian interior masjid, bagian list-plangnya yang bermotif gunungan dan sayap kelelawar, serta menara masjid yang menjadi satu bagian dengan bangunan masjid. Jika diamati betul, ada kesan kalau masjid ini bukan bangunan yang diniatkan sebagai masjid. Ruangan dalam masjid berbentuk leter L. Lalu untuk menopang atapnya yang berjumlah dua memanjang dari utara ke selatan ada 33 buah pilar model romawi. Lalu di sebelah kanan bagian mihrab, terdapat semacam pos jaga monyet. Belum lagi model pagar temboknya yang tinggi dan tebal, lalu model list-plang yang juga mirip dengan bangunan Belanda pada umumnya. Ada kesan kuat masjid ini sebelumnya, bisa jadi sebuah benteng atau masjid yang sengaja dibuat dan diapakai sebagai benteng.
Masjid An Nawier Pekojan berada di Jalan Masjid Pekojan Gg. II, Kelurahan Pekojan, sebelah barat Stasiun KA Kota. Agak sulit juga mencari lokasinya, karena di kiri dan kanan serta belakang masjid terjepit pemukiman penduduk sekitar Jalan Pengukiran. Tapi yang jelas tidak sulit memilih sarana transportasi. Terminal Grogol dan Kota bisa dipilih untuk menilik masjid yang juga berdekatan lokasinya dengan Masjid Al Anwar di Jalan Pangeran Tubagus Angke ini.
3. Masjid Agung Banten
A. Selayang Pandang
Masjid Agung Banten merupakan situs bersejarah peninggalan Kesultanan Banten. Masjid ini dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati, sekitar tahun 1552—1570 M. Masjid ini memiliki halaman yang luas dengan taman yang dihiasi bunga-bunga flamboyan. Pada hari-hari tertentu, misalnya Maulid Nabi Muhammad SAW, masjid ini dipenuhi oleh ribuan peziarah dari berbagai daerah, seperti daerah Banten, Jakarta, Bekasi, Bogor, Purwakarta, Sukabumi, hingga Bandar Lampung.
Selain sebagai obyek wisata ziarah, Masjid Agung Banten juga merupakan obyek wisata pendidikan dan sejarah. Dengan mengunjungi masjid ini, wisatawan dapat menyaksikan peninggalan bersejarah kerajaan Islam di Banten pada abad ke-16 M, serta melihat keunikan arsitekturnya yang merupakan perpaduan gaya Hindu Jawa, Cina, dan Eropa.
Sejarah pendirian Masjid Agung Banten berawal dari instruksi Sultan Gunung Jati kepada anaknya, Hasanuddin. Konon, Sunan Gunung Jati memerintahkan kepada Hasanuddin untuk mencari sebidang tanah yang masih “suci” sebagai tempat pembangunan Kerajaan Banten. Setelah mendapat perintah ayahnya tersebut, Hasanuddin kemudian shalat dan bermunajat kepada Allah agar diberi petunjuk tentang tanah untuk mendirikan kerajaan. Konon, setelah berdoa, secara spontan air laut yang berada di sekitarnya tersibak dan menjadi daratan. Di lokasi itulah kemudian Hasanuddin mulai mendirikan Kerajaan Banten beserta sarana pendukung lainnya, seperti masjid, alun-alun, dan pasar. Perpaduan empat hal: istana, masjid, alun-alun, dan pasar merupakan ciri tradisi kerajaan Islam di masa lalu.
B. Keistimewaan
Keunikan arsitektur Masjid Agung Banten terlihat pada rancangan atap masjid yang beratap susun lima, yang mirip dengan pagoda Cina. Konon, masjid yang dibangun pada awal masuknya Islam ke Pulau Jawa ini desainnya dirancang dan dikerjakan oleh Raden Sepat. Ia adalah seorang ahli perancang bangunan dari Majapahit yang sudah berpengalaman menangani pembangunan masjid, seperti Demak dan Cirebon. Selain Raden Sepat, arsitek lainnya yang ditengarai turut berperan adalah Tjek Ban Tjut, terutama pada bagian tangga masjid. Karena jasanya itulah Tjek Ban Tjut memperoleh gelar Pangeran Adiguna.
Kemudian pada tahun 1620 M, semasa kekuasaan Sultan Haji, datanglah Hendrik Lucaz Cardeel ke Banten, ia seorang perancang bangunan dari Belanda yang melarikan diri dari Batavia dan berniat masuk Islam. Kepada sultan ia menyatakan kesiapannya untuk turut serta membangun kelengkapan Masjid Agung Banten, yaitu menara masjid serta bangunan tiyamah yang berfungsi untuk tempat musyawarah dan kajian-kajian keagamaan. Hal ini dilakukan sebagai wujud keseriusannya untuk masuk Islam. Karena jasanya tersebut, Cardeel kemudian mendapat gelar Pangeran Wiraguna.
Menara masjid tersebut terletak di sebelah timur masjid. Menara ini terbuat dari batu bata dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, dengan diameter bagian bawahnya kurang lebih 10 meter. Untuk mencapai ujung menara, pengunjung harus melewati 83 buah anak tangga dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Dari atas menara ini, pengunjung dapat melihat pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai, karena jarak antara menara dengan laut hanya sekitar 1,5 km. Pada zaman dahulu, selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan, bangunan ini difungsikan sebagai menara pandang ke lepas pantai. Selain itu, menara ini juga digunakan oleh masyarakat Banten untuk menyimpan senjata pada masa pendudukan Belanda.
Selain menara, pada bagian depan masjid terdapat alat pengukur waktu shalat yang berbentuk lingkaran, dengan bagian atas berbentuk seperti kubah. Pada bagian atas kubahnya ditancapkan kawat berbentuk lidi. Melalui bayangan dari kawat itulah dapat diketahui kapan waktu shalat tiba.
Keunikan lainnya nampak pada umpak dari batu andesit yang berbentuk labu dengan ukuran besar. Umpak batu ini terdapat di setiap dasar tiang masjid, pendopo, dan kolam untuk wudhu. Umpak besar seperti ini tidak terdapat di masjid-masjid lain di Pulau Jawa, kecuali di bekas reruntuhan masjid Kesultanan Mataram di daerah Plered, Bantul, Yogyakarta. Begitu pula dengan bentuk mimbar yang besar dan antik, tempat imam yang berbentuk kecil, sempit, dan sederhana juga menunjukkan kekhasan masjid ini.
Di serambi kiri masjid ini terdapat makam Sultan Maulana Hasanuddin dengan permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nashr Abdul Kahhar (Sultan Haji). Sementara di serambi kanan, terdapat makam Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin, Ratu Salamah, Ratu latifah, dan Ratu Masmudah.
C. Lokasi
Masjid Agung Banten terletak di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Propinsi Banten, Indonesia.
D. Akses
Masjid Agung Banten berada sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang. Pengunjung dapat menuju lokasi dengan kendaraan pribadi atau naik bus. Dari Terminal Pakupatan, Serang, Pengunjung dapat melanjutkan perjalanan dengan bus jurusan Banten Lama dengan tarif Rp 4.000 atau dapat juga mencarter angkot dengan biaya sekitar Rp 40.000 (Juni 2008). Perjalanan dari Terminal Pakupatan, Serang, menuju ke lokasi masjid memerlukan waktu sekitar setengah jam.
E. Harga Tiket
Memasuki kawasan obyek wisata Masjid Agung Banten tidak dipungut biaya. Namun, apabila memasuki tempat-tempat seperti menara, tempat wudhu, dan kompleks makam sultan, pengunjung diwajibkan membayar rata-rata Rp 1.000 (Juni 2008)
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di sekitar masjid ini terdapat penginapan, warung telekomunikasi, dan warung yang menjual aneka jajanan. Selain itu, banyak kios yang menjual perlengkapan sholat, tasbih, kaset rohani, VCD musik, pakaian dewasa dan anak-anak, serta cenderamata suku asli Banten, yaitu suku Baduy.
(Junardi/WM/01/06-08)
4. Masjid Agung Kauman Keraton Jogjakarta
Masjid yang juga dikenal dengan nama Masjid Gede Kauman ini terletak di sebelah barat Alun- Alun Utara yang secara simbolis merupakan transendensi untuk menunjukkan keberadaan Sultan, yaitu di samping pimpinan perang atau penguasa pemerintahan (senopati ing ngalaga), juga sebagai sayidin panatagama khalifatulah (wakil Allah) di dunia di dalam memimpin agama (panatagama) di kasultanan.
Dibangun pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono I oleh seorang arsitek bernama K. Wiryokusumo, masjid ini mempunyai pengulu pertama yaitu Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat. Seperti halnya masjid-masjid lain di Jawa, masjid ini beratap tumpang tiga dengan mustoko, masjid ini berdenah bujur sangkar, mempunyai serambi, pawestren, serta kolam di tiga sisi masjid. Namun beberapa keunikan yang dimiliki oleh masjid ini adalah mempunyai gapura depan dengan bentuk semar tinandu dan sepasang bangunan pagongan di halaman depan untuk tempat gamelan sekaten.
Masjid yang pernah dipugar akibat gempa bumi besar ini merupakan masjid jammi kerajaan yang berfungsi sebagai tempat beibadah, upacara kesagamaan, pusat syiar agama, dan tempat penegaan tata hukum keagamaan.
Seluruh kompleks Masjid ini dikelilingi oleh pagar tembok tinggi di mana pada bagian utara terdapat Dalem Pengulon yaitu tempat tinggal serta kantor abdi dalem pengulu, serta di sebelah barat masjid terdapat beberapa makam yang diantaranya adalah makam Nyai Ahmad Dahlan. Abdi dalem pengulu inilah yang membawahi para abdi dalem bidang keagamaan lainnya, seperti abdi dalem pamethakan, suronoto, modin.
Kawasan di sekitar masjid merupakan kawasan pemukiman para santri ataupun ulama. Pemukiman tersebut lebih dikenal dengan nama Kauman dan Suronatan. Dalam perjalanan histories Yogyakarta, kehidupan religius di kampung tersebut menjadi inspirasi dan tempat yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya gerakan keagamaan Muhammadyah pada tahun 1912 M yang dipimpin oleh K.H.A. Dahlan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar